Thinking About Ethics

Tema saya hari adalah etika. Intinya banyak orang yang mengenal saya dan juga yang tidak mengenal saya mengira saya adalah orang yang tradisionalis. Well it’s not absolutely wrong actually, since i admitted that a part of my thought was built based on traditions. Namun bukan itu masalah utama dalam bahasan saya sekarang. Hari ini saya mengalami perang konsep antara free thinking dan kendali etika dalam hidup manusia sebagai makhluk sosial. Namun pada prinsipnya adalah perdebatan antara perlu atau tidaknya etika untuk mengendalikan pola perilaku manusia dalam berinteraksi antar sesamanya.

Apa yang membedakan manusia dengan hewan? Ada 2 hal yakni akal, dan jangan lupakan 1 hal lagi yakni budi. Etika adalah produk dari akal dan budi. Eyang saya sering berkata, “jaman sekarang, orang pinter banyak, tapi orang yg mengerti sudah sangat langka.” Setiap eyang ngomong kayak begitu, sebenarnya saya panas. That is her judgement to me that I’m a human with no empathy.

Namun sebenernya itu kuncinya. Misalnya ketika saya panas denger eyang ngomong kayak gitu, saya spontan membantah dengan nada tinggi. Saya pun melanggar etika. Etika yang mengatur hubungan dan tingkah laku saya sebagai cucu kepada eyang saya. Dan seketika saya merasa sangat menyesal ketika melihat perubahan air muka eyang saya yang tidak mengira saya bisa berlaku seperti itu kepada beliau. Mungkin beliau sakit hati? Seketika pula nurani saya merasa yang saya lakukan adalah kesalahan.

Bisakah anda melihat bahwa etika menang di sini. In the end, pengakuan kesalahan yang saya buat meskipun tak terucapkan adalah bentuk pembenaran dari pentingnya etika.

Menurut saya, etika tak ubahnya seperti pakaian. Pakaian di daerah tropis dan subtropis tentu berbeda. You can’t wear your tropic wardrobes one year long in subtropic country. Vice versa. Begitu pula dengan etika. Etika adalah produk dari kustomisasi budaya dan nilai-nilai kuno suatu komunitas. Saya setuju hal-hal tersebut adalah ciptaan manusia dan ada beberapa yang merupakan turunan dari spiritualitas reliji. Yang murni merupakan ciptaan manusia, mungkin pada suatu ketika akan menjadi usang. Namun selama belum usang, dalam artian masih berlaku di dalam suatu tatanan masyarakat, kita memiliki obligasi untuk mengikutinya, seburuk apapun akal kita melakukan kalkulasi penilaian terhadap salah satu etika tersebut.

Selain aritmetika, tidak ada yang namanya kebenaran mutlak di dunia. Bahkan teori-teori fisika dan kimia mulai berguguran satu persatu. Namun satu prinsip saya, kebebasan berfikir, menciptakan sesuatu, dsb harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Tidak semua pikiran manusia itu lurus dan membawa lebih banyak manfaat daripada mudharat. Masih banyak variabel-variabel lain yang membentuk kepribadian seseorang seperti ego, mood, latar belakang keluarga, pendidikan, kondisi psikologis, dsb. Manusia yang dibiarkan bebas melakukan apapun berdasarkan kebebasan berfikirnya, namun tidak dibentengi dengan etika, hanya akan membuat mereka tak ubahnya seperti hewan. Dan generalisasi konsep bahwa manusia pada dasarnya baik pada konteks ini adalah suatu kebodohan. Saya tidak bisa membayangkan betapa berbahayanya pemikiran seperti itu. Sounds like conservative Catholic Rome bishops in Galilleo era, doesn’t it? This is one of traditionalist side of me. šŸ™‚

Leave a comment